KAJIAN SEMIOTIKA DALAM PUISI “PENERIMAAN” KARYA CHAIRIL ANWAR
-
Kamis, 20 Maret 2014
No Comments
Sastra suatu komunikasi seni yang hidup bersama bahasa. Tanpa bahasa
sastra tidak mungkin ada, puisi adalah salah satu sastra yang menggunakan
bahasa di dalam penyampaiannya. Melalui bahasa dia dapat mewujudkan dirinya
berupa sastra lisan maupun sastra tertulis. Sastra cenderung menggunakan cara
berbahasa yang berbeda, yang paling dominan adalah penggunaan bahasa konotatif,
yakni bahasa yang mendukung emosi dan suasana hati, ungkapan dalam bahasa
konotatif tidak hanya memiliki makna namun juga harus berisi simbol-simbol.
Pada waktu sekarang ini puisi kian diminati oleh masyarakat,
baik para pelajar, mahasiswa maupun masyarakat pada umumnya. Akan tetapi, puisi
sukar dimengerti karena kompleksitas, pemadatan, kiasan-kiasan dan pemikirannya
yang sukar. Oleh karena itu, perlu adanya kajian terhadap puisi. Kajian adalah
memahami karya sastra dalam hal ini puisi dengan cara menilai, menganalisis dan
menginterpretasi melalui berbagai pendekatan atau teori tertentu.
Misal pada pendekatan semiotik. Pendekatan
semiotik seperti yang diungkapkan
oleh Rachmat Djoko Pradopo yaitu bahwa bahasa sebagai medium karya sastra sudah
merupakan sistem semiotik atau ketandaan, yaitu sistem ketandaan yang mempunyai
arti. Medium karya sastra bukanlah bahan yang bebas (netral) seperti bunyi pada
seni msik ataupun warna pada lukisan. Warna cat sebelum digunakan dalam lukias
masih bersifat netral, belum mempunyai arti apa-apa sedangkan kata-kata
(bahasa) sebelum dipergunakan dalam karya sastra sudah merupakan lambang yang
mempunyai arti yang ditentukan oleh perjanjian masyarakat (bahasa) atau
ditentukan oleh konvensi-konvensi masyarakat. Lambang-lambang atau tanda-tanda
kebahasaan itu berupa satuan-satuan bunyi yang mempunyai arti oleh konvensi
masyarakat. Bahasa itu merupakan sistem ketandaan yang berdasarkan atau
ditentukan oleh konvensi (perjanjian) masyarakat. Sistem ketandaan itu disebut
dengan semiotik. Begitu pula ilmu yang mempelajari sistem tanda-tanda itu
disebut semiotika (2009:121).
Teori Semiotik ini dikemukakan oleh Ferdinand De Saussure
(1857-1913). Dalam teori ini semiotik dibagi menjadi dua bagian (dikotomi)
yaitu penanda (signifier) dan pertanda (signified). Penanda dilihat sebagai
bentuk/wujud fisik dapat dikenal melalui wujud karya arsitektur, sedang
pertanda dilihat sebagai makna yang terungkap melalui konsep, fungsi dan
nilai-nilai yang terkandung didalam karya arsitektur. Eksistensi semiotika
Saussure adalah relasi antara penanda dan petanda berdasarkan konvensi, biasa
disebut dengan signifikasi. Semiotika signifikasi adalah sistem tanda yang
mempelajari relasi elemen tanda dalam sebuah sistem berdasarkan aturan atau
konvensi tertentu. Kesepakatan sosial diperlukan untuk dapat memaknai tanda
tersebut. Dalam berkomunikasi, seseorang menggunakan tanda untuk mengirim makna
tentang objek dan orang lain akan menginterpretasikan tanda tersebut. Contoh dalam sajak “Penerimaan”
karya Chairil Anwar, dalam kajian
semiotika strukturalisme pada bagian pilihan kata. Kata-kata yang digunakan
Chairil amat memuakau dan dhasyat bila dikaji dari segi semiotiknya.
Pilihan kata yang digunakan Chairil Anwar pada puisi “Penerimaan” sangat
indah. Penggunaan kata yang mudah dipahami serta penyusunan kata yang sangat
tepat sehingga membuat kata-kata dalam puisi ini terasa menyentuh, menusuk, juga seolah-olah mencabik-cabik pikiran si
pemnbaca.
puisi “penerimaan”, Si aku masih memberikan harapan
kepada si
wanita. Apabila suatu saat nanti si
wanita ingin kembali, si aku akan menerimanya. Si aku
akan menerima wanita itu dengan sepenuh hati. Si aku tidak akan mencari wanita
lain sebagai pendamping hidupnya karena masih menunggu wanitanya untuk kembali.
Pada puisi ini, Si aku masih sendiri dan akan setia
menunggu meskipun Si aku mengetahui jika wanita yang dicinta dan ditunggunya
itu sudah terjamah oleh pria lain atau dapat dikatakan sudah tidak perawan. Hal
ini digambarkan dengan kalimat “kutahu kau bukan yang dulu lagi bak kembang
sari sudah terbagi”. Kalimat ini menggunakan majas metafora dengan
menggambarkan wanita yang sudah tidak perawan dengan kembang sari yang sudah
terbagi.
Si aku masih
memberi harapan kepada si wanita. Si aku meyakinkan
pada si wanita bahwa kelak apabila si wanita ingin kembali tidak usah merasa malu atau
merasa takut. Si aku akan menerima dengan apa adanya.
Jangan pernah mendua lagi, dan hanya untuk si aku seorang. Bahkan dengan cermin pun si aku enggan
berbagi. Digambarkan dalam bait ke-5 yang berbunyi “sedangkan dengan cermin aku
enggan berbagi”. Dalam kalimat ini penyair menggunakan citraan penglihatan.
Lampiran
PENERIMAAN
Kalau kau mau kuterima kau kembali
Dengan sepenuh hati
Aku masih tetap sendiri
Kutahu kau bukan yang dulu lagi
Bak kembang sari sudah terbagi
Jangan tunduk ! Tentang aku dengan berani
Kalau kau mau kuterima kembali
Untukku sendiri tapi
Sedang dengan cermin aku enggan berbagi
(Deru campur
Debu, 1958:36)
Gallery